BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perbedaan
mendasar antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional ialah system
bunga dan bukan bunga (bagi hasil), sehingga memberikan pengaruh perbedaan
dalam struktur corporate governance dan system pengawasan perbankan
syariah. Pengawasan perbankan syariah pada dasarnya dibagi menjadi 2 sistem
yaitu :
a. Pengawasan
dari aspek keuangan, kepatuhan kepada aturan perbankan secara umum dan prinsip
kehati-hatian bank.
b. Pengawasan
prinsip syariah dalam kegiatan operasional bank.
Struktur pengawasan pada perbankan
syariah harus terdiri dari pengawasan internal :
-
Aspek-aspek rapat umum pemegang saham
(RUPS),
-
Dewan komisaris,
-
Dewan audit,
-
Dewan pengawas syariah (DPS)
Struktur pengawasan pada perbankan
syariah harus terdiri dari pengawasan eksternal :
-
Bank Indonesia,
-
Akuntan public,
-
Dewan Syariah Nasional,
-
Auditor Syariah,
-
Pasar Uang Syariah,
-
Forum komunikasi pengembangan perbankan
syariah,
-
Lembaga penjaminan pembiayaan syariah,
-
Pusat informasi keuangan syariah
-
Dan lembaga yang menangani aspek
keselamatan asset bagi bank syariah yang menginginkan peningkatan liuiditasnya.
Disamping adanya system pengawasan,
pendirian suatu bank syariah perlu didukung oleh permodalan yang kuat, pemilik
bank yang sesuai, dan memiliki keadaan keuangan yang memadai sehingga mampu
bersaing dalam dunia perbankan internasional. Untuk itu, pemerintah membuka
peluang pada pihak asing untuk turut serta dalam kepemilikan dan manajemen bank
dengan mengutamakan aspek kemitraan dengan pengusaha nasional.
Tindakan lain pemerintah dalam
mengembangkan perbankan syariah ialah dengan memberikan kesempatan untuk
membuka jaringan layanan yang lebih luas dalam bentuk pembukaan unit usaha
syariah, namun pemerintah tetap memperhatikan kinerja, kelayakan dan kemampuan
keuangan bank. Selain itu juga, turut diperhatikan tingkat kejenuhan jumlah
bank yang melakukan aktifitas usaha berdasarkan system syariah, tingkat
persaingan yang sehat, dan tingkat pemerataan pembangunan ekonomi nasional.
Untuk memberikan pelayanan maksimal
kepada masyarakat, terutama masyarakat kecil tidak mustahil ada kemungkinan
untuk membuat jaringan dengan bank pengkreditan rakyat yang juga menjalankan
system syariah, berdasarkan UU No. 21/2008 pasal 1 ayat 9, disebut dengan bank
pembiayaah rakyat secara syariah (BPRS).
B. Rumusan
Masalah
Pembuatan
makalah ini diharapkan dapat tersusun dengan baik dan terarah sehingga pembaca
lebih mudah memahaminya. Oleh karena itu, di buatlah rumusan masalah. Adapun
rumusan masalahnya adalah :
1. Bagaimana
bentuk dan ketentuan pendirian bank syariah di Indonesia?
2. Bagaimana
struktur pengurusan bank syariah di Indonesia?
3. Bagaimana
pengawasan Bank Indonesia disamping DSN dan DPS ?
C. Tujuan
Masalah
Tujuan
dari pembuatan makalah ini adalah untuk menambah wawasan keilmuan kita serta
memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Perbankan Syariah.
Sedangkan secara khusus, tujuannya adalah sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui bentuk dan ketentuan pendirian bank syariah di Indonesia.
2. Untuk
mengetahui struktur pengurusan bank syariah di Indonesia.
3. Untuk
mengetahui pengawasan Bank Indonesia disamping DSN dan DPS.
D. Metode
Penulisan
Metode penulisan
yang penulis gunakan adalah metode pengutipan data dari satu refrensi. Sumber
refrensi penulisan ini adalah buku acuan dosen mata kuliah Perbankan Syariah,
yakni buku “Sistem Perbankan Syariah Di Indonesia”.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
BENTUK DAN
KETENUAN PENDIRIAN BANK SYARIAH DI INDONESIA
Pendirian perbankan syariah, baik dalam bentuk BUS, BPRS, maupun
UUS sebagai mana pada bank konvensional, adalah berdasarkan kepada UU No.
10/1998, sebagai pengganti UU No. 7/1992 tentang perbankan, UU No. 21/2008
tentang perbankan syariah, SK.Dir. Bank Indonesia No. 32/34/1999, Peraturan
Bank Indonesia (PBI) No. 6/24/PBI/2004 tentang pendirian bank umum syariah,
yang di perbaharui dengan PBI No. 7/35/PBI/2005, PBI No. 6/17/PBI/2004 tentang
pendirian BPRS, dan PBI No. 8/3/PBI/2006 tentang perubahan aktivitas Usaha Bank
Umum Konvensional menjadi Bank Umum yang Melaksanakan Aktivitas Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang Melaksanakan
Aktivitas Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka ada beberapa ketentuan dan
peraturan perbankan, seperti berikut :
a.
Ketentuan
pendirian Bank Umum Syariah (BUS)
1)
Harus ada izin
resmi dari BI. Harus menjalankan usahanya peling lambat 60 hari setelah izin
dikeluarkan. Jika belum terlaksana, Direksi Bank Indonesia dapat membatalkan
izin usaha tersebut.
2)
Yang dapat
mendirikan BUS ialah : warganegara Indonesia dan atau badan hokum Indonesia,
atau warganegara Indonesia dan atau badan hokum Indonesia dengan warganegara
asing dan atau badan hukum asing secara kemitraan.
3)
Modal yang
diinvestasikan adalah sebagaimana digariskan dalam ketentuan PBI, tidak
dibenarkan bersumber dari : pinjaman atau kemudahan pembiayaan dalam apapun
bentuk dari bank dan atau pihak lain, dan atau sumber yang diharamkan menurut
prinsip syariah.
4)
Pemilik bank
ialah pihak-pihak yang tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang
menjadi pemegang saham dan atau pengelola bank sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh BI. Dan menurut penilaian BI yang memiliki integritas yang baik.
5)
Di samping
Dewan Komisaris dan Direksi, BUS juga harus memiliki Dewan Pengawas Syariah,
yang berfungsi mengawasi agar sesuai dengan prinsip syariah. DPS hanya
berkedudukan di Kantor Pusat, dan bersifat independen serta sejajar dengan
Dewan Komisaris.
6)
Usaha BUS harus
senantiasa memperhatikan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), dan norma-norma
syariah. Jika belum difatwakan oleh DSN, maka bank wajib meminta persetujuan
DSN sebelum melaksanakan aktivitas usaha tersebut.
b.
Ketentuan
pendirian Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
1)
Sebagai mana
pendirian BUS, pendirian BPRS juga harus dengan izin BI.
2)
Yang dapat
mendirikan BPRS ialah : warganegara Indonesia, badan hokum Indonesia yang
seluruh kepemilikannya dipegang oleh warganegara Indonesia, pemerintah daerah,
dan dua pihak atau lebih sebagai mana dimaksud di atas.
3)
Modal yang
diperlukan untuk mendirikan BPRS ini
sekurang-kurangnya : 2 milyar untuk di DKI Jakarta, Tangerang, Bogor, Bekasi
dan Kerawang. Dan 1 milyar untuk wilayah Ibu Kota Propinsi. Serta 500 juta
untuk daerah lainnya.
4)
Ketentuan
lainnya sama dengan pendirian BUS, kecuali pembatasan usaha, seperti melakukan
usaha dalam bentuk giro.
c.
Ketentuan
pembukaan Unit Usaha Syariah pada Bank Konvensional
1)
Suatu bank umum
yang aktivitas usahanya secara konvensional boleh melakukan aktivitas usaha
berdasarkan prinsip syariah.
2)
Telah mendapat
izin usaha UUS dan wajib mencantumkan dengan jelas frase “Unit Usaha Syariah”
setelah nama bank pada kantor UUS yang bersangkutan.
3)
Wajib membentuk
unit usaha syariah di kantor pusat bank yang berfungsi : mengatur dan mengawasi
seluruh aktivitas kantor cabang syariah dan atau unit syariah, menempatkan dan
mengelola dana yang bersumber dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah,
menerima dan menata-usahakan laporan keuangan dari kantor cabang, serta
melakukan aktivitas lain sebagai kantor induk.
4)
Pembukaan
kantor cabang syariah harus mendapat izin dari BI.
5)
Wajib
menyisihkan modal kerja bagi bank yang membuka kantor cabang syariah untuk
menutupi biaya operasional dan memenuhi batas kewajiban penyediaan modal
minimal.
6)
Wajib memiliki
catatan dan pembukuan terpisah dan menyusun laporan keuangan berdasarkan
prinsip syariah dan memasukkan laporan tersebut ke dalam laporan keuangan
gabungan.
7)
Wajib
menggunakan istilah “Kantor Cabang Syariah” pada setiap penulisan nama
kantornya. Dan dilarang merubah aktivitas menjadi kantor cabang konvensional.
Jika terjadi pelanggaran, maka BI akan menarik kembali izin pembukaan kantor
cabang tersebut.
B.
STRUKTUR
PENGURUSAN
a.
Direksi dan
Dewan Komisaris
Adapun
persyaratan wajib yang harus dipenuhi oleh direksi dan komisaris ialah :
1)
Tidak termasuk
dalam pihak-pihak yang di sebut dalam pemegang saham / pengurus bank sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BI.
2)
Memiliki
kompetensi dan integritas yang baik, yaitu ;
a.
Memiliki akhlak
dan moral yang baik,
b.
Memenuhi
peraturan perundangan yang berlaku,
c.
Memiliki
komitmen yang tinggi dalam mengikuti fatwa Dewan Syariah Nasional,
d.
Mempunyai
kemampuan dalam menjalankan tugas dan atau reputasi mengawasi aktivitas usaha
bank agar sesuai dengan prinsip Syariah.
Bagi direksi,
sekurang-kurangnya berjumlah 2 orang yang mempunyai pengalaman dalam
operasional bank syariah. Dalam pasal 29 UU No.
21/2008 ditekankan bahwa 1 orang di antara direktur bertugas untuk
memastikan kepatuhan Bank Syariah terhadap pelaksanaan ketentuan BI dan
peraturan perundang-undangan lainnya. Dan bagi direktur utamanya wajib berasal
dari pihak yang bebas terhadap pemegang saham pengendali.
Adapun anggota
dewan komisaris perlu sekurang-kurangnya berjumlah 2 orang dan
sebanyak-banyaknya sama dengan jumlah anggota direksi, setidak-tidaknya seorang
wajib tinggal di Indonesia.
b.
Dewan Syariah
Nasional dan Dewan Pengawas Syariah
1)
Dewan Syariah
Nasional (DSN)
Didirikan oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) secara resmi pada tahun 1999 yang bertugas untuk
mencaari, mengkaji dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum islam untuk
dijadikan rujukan dalam aktivitas transaksi sertamengawasi perjalanan system
perekonomian Lembaga Kauangan Syariah (LKS).
Organisasi DSN per 2010
di ketuai oleh K.H. Ma’ruf Amin dengan empat pengurus lainnya dan 13 anggota
yang memiliki tugas masing-masing.
Berdasarkan keputusan
DSN No. 01 tahun 2000 tentang Pedoman Dasar Dewan, DSN bertugas sebagai :
a.
Menumbuh dan
mengembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam aktivitas perekonomian
umumnya dan keuangan khususnya.
b.
Mengeluarkan
fatwa tentang jenis-jenis aktivitas keuangan.
c.
Mengeluarkan
fatwa tentang produk dan pelayanan keuangan Syariah.
d.
Mengawasi
penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
Adapun wewenang DSN
adalah sebagai berikut :
a.
Mengeluarkan fatwa
yang mengikat DPS di setiap Lembaga Keuangan Syariah dan menjadi dasar tindakan
hukum yang terjadi dengannya.
b.
Mengeluarkan
fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan atau peraturan yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang.
c.
Memberikan
rekomendasi atau menarik semua rekomendasi nama-nama yang akan menjabat di DPS
pada suatu LKS.
d.
Mengundang para
pakar untuk menerangkan segala masalah yang diperlakukan dalam pembahasan
ekomomi syariah, termasuk otoritas moneter atau lembaga keuangan dalam dan luar
negeri.
e.
Memberikan
peringatan kepada LKS untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah
dikeluarkan oleh DSN.
f.
Mengusulkan
pada pejabat yang berwewenang untuk mengambil tindakan.
Dalam mengeluarkan fatwanya, DSN harus
berdasarkan Al-Quran, Sunnah, kaedah-kaedah hukum Islam, dan pendapat Imam Madzhab serta ulama-ulama terdahulu.
2)
Dewan Pengawas
Syariah (DPS)
Dalam pasal 21 PBI No. 6/24/PBI/2004, disebutkan bahwa anggota DPS
wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a.
Integritas,
yaitu :
a)
Memiliki akhlak
dan moral yang baik,
b)
Memiliki
komitmen untuk mematuhi peraturan perundangan yang berlaku,
c)
Memiliki
komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional bank yang sehat,
d)
Tidak termasuk
dalm catatan hitam pada perbankan Indonesia.
b.
Kompetensi,
yaitu memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam bidang Syariah; muamalah,
perbankan dan atau keuangan secara umum.
c.
Reputasi
keuangan, yaitu pihak-pihak yang :
a)
Tidak termasuk
dalam kredit atau pembiayaan yang tidak lancar.
b)
Tidak pernah
dinyatakan bankrupt atau pernah menjadi direksi atau komisaris yang dinyatakan
bersalah menyebkan suatu perusahaan dinyatakan bankrupt, dalam masa 5 tahun
terakhir.
Tugas, wewenang
dan tanggung jawab DPS, sebagai mana termuat dalam pasal 27 PBI No.
6/24/PBI/2004, antara lain ;
a.
Memastikan dan
mengawasi kesesuaian aktivitas operasional bank terhadap fatwa yang dikeluarkan
DSN.
b.
Menilai aspek
Syariah sebagai rujukan operasional dan produk yang dikeluarkan bank.
c.
Memberikan
pendapat dari aspek Syariah terhadap pelaksanaan operasional bank secara
menyeluruh dalam bentuk laporan publikasi bank.
d.
Mengkasji
produk dan pelayanan yang belum ada fatwanya untuk dimintakan kepada DSN.
e.
Menyampaikan
laporan hasil pengawasan Syariah sekurang-kurangnya setiap 6 bulan sekali
kepada direksi, komisaris, DSN dan bank Indonesia.
Fungsi utama DPS ialah :
a.
Sebagai
penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pemimpin UUS, dan pemimpin kantor
cabang syariah mengenai hal-hal yang berhubungan dengan aspek syariah.
b.
Sebagai
perantara antara LKS dengan DSN dalam membicarakan usul dan saran pengembangan
produk dan pelayanan LKS yang memerlukan kajian serta fatwa DSN.
Tugas DPS ialah :
a.
Mengikuti
fatwa-fatwa DSN
b.
Mengawasi Usaha
LKS agar tidak menyimpang dari aturan syariah yang telah di fatwakan DSN.
c.
Melaporkan
aktivitas usaha dan perkembangan LK yang diawasi secara rutin kepada DSN,
sekurang-kurangnya 2 kali dalam setahun.
C.
PENGAWASAN BANK
INDONESIA (di samping DSN dan DPS)
Menurut pasal 29 ayat 1 UU No. 10/1998 , Bank Indonesia turut
bertugas sebagai pengawas selain DSN dan DPS. Adapun aspek-aspek pengawasan
yang menjadi wewenang BI ialah :
a.
Aspek
Administrasi
Berkaitan
dengan perubahan aktivitas usaha dan pembukaan kantor cabang syariah serta
pendirian bank yang berdasarkan prinsip syariah. Hal ini telah tertuang dalam
peraturan yang ada bahwa setiap pendirian atau perubahan menjadi bank syariah
harus dengan izin BI.
b.
Aspek Keuangan
BI memiliki
wewenang untuk menetapkan pembiayaan maksimum yang ditentukan berdasarkan
prinsip syariah yang harus dipatuhi oleh bank syariah, yakni tidak boleh
melebihi 30% dari modal bank syariah tersebut.
Berdasarkan UU
No. 10/1998 otoritas yang berwenang untuk menyatakan bahwa terlah terjadi
pelanggaran terhadap prinsip-prinsip syariah dan yang memberikan sanksi ialah
BI saja. Hubungan kerja antara BI dan DSN merupakan suatu bentuk hubungan
koordinasi.
BI sebagai
pemegang otoritas pengawasan perbankan bias saja meminta fatwa kepada DSN
apabila ada terjadi pelanggaran syariah compliance. Sebaliknya, DSN juga
boleh melaporkan adanya pelanggaran syariah compliance. Dari hasil
laporan DSN, BI harus melakukan tindakan sekiranya terbukti adanya kesalahan BI
bias memberikan tindakan penertiban atau pemberi sanksi kepada bank yang
melanggar peraturan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Untuk mendirikan BUS, BPRS, maupun UUS harus mendapatkan izin dari
Bank Indonesia. Dimana setiap pendirian bank syariah juga harus menurut pada
fatwa-fatwa yang berlaku. Selain itu peran BI juga sangat tegas terhadap
aktivitas uasa perbankan syariah yang harus sesuai dengan prinsip syariah.
B.
Saran
Seharusnya
pemerintah dalam mengembangkan perbankan syariah ialah dengan memberikan kesempatan
untuk membuka jaringan layanan yang lebih luas dalam membentuk pembukaan Unit
Usaha Syariah. Dan juga pemerintah harus tetap memperhatikan kinerja, kelayakan
dan kemampuan keuangan bank.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda sangat membantu bagi perkembangan blog ini.