WELLCOME TO MY BLOG

SEMOGA BERMANFAAT

Welcome Myspace Comments
MyNiceProfile.com

Minggu, 08 Juni 2014

Makalah Unsur Keorganisasian Perbankan Syariah





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perbedaan mendasar antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional ialah system bunga dan bukan bunga (bagi hasil), sehingga memberikan pengaruh perbedaan dalam struktur corporate governance dan system pengawasan perbankan syariah. Pengawasan perbankan syariah pada dasarnya dibagi menjadi 2 sistem yaitu :
a.       Pengawasan dari aspek keuangan, kepatuhan kepada aturan perbankan secara umum dan prinsip kehati-hatian bank.
b.      Pengawasan prinsip syariah dalam kegiatan operasional bank.
Struktur pengawasan pada perbankan syariah harus terdiri dari pengawasan internal :
-          Aspek-aspek rapat umum pemegang saham (RUPS),
-          Dewan komisaris,
-          Dewan audit,
-          Dewan pengawas syariah (DPS)
Struktur pengawasan pada perbankan syariah harus terdiri dari pengawasan eksternal :
-          Bank Indonesia,
-          Akuntan public,
-          Dewan Syariah Nasional,
-          Auditor Syariah,
-          Pasar Uang Syariah,
-          Forum komunikasi pengembangan perbankan syariah,
-          Lembaga penjaminan pembiayaan syariah,
-          Pusat informasi keuangan syariah
-          Dan lembaga yang menangani aspek keselamatan asset bagi bank syariah yang menginginkan peningkatan liuiditasnya.
Disamping adanya system pengawasan, pendirian suatu bank syariah perlu didukung oleh permodalan yang kuat, pemilik bank yang sesuai, dan memiliki keadaan keuangan yang memadai sehingga mampu bersaing dalam dunia perbankan internasional. Untuk itu, pemerintah membuka peluang pada pihak asing untuk turut serta dalam kepemilikan dan manajemen bank dengan mengutamakan aspek kemitraan dengan pengusaha nasional.
Tindakan lain pemerintah dalam mengembangkan perbankan syariah ialah dengan memberikan kesempatan untuk membuka jaringan layanan yang lebih luas dalam bentuk pembukaan unit usaha syariah, namun pemerintah tetap memperhatikan kinerja, kelayakan dan kemampuan keuangan bank. Selain itu juga, turut diperhatikan tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan aktifitas usaha berdasarkan system syariah, tingkat persaingan yang sehat, dan tingkat pemerataan pembangunan ekonomi nasional.
Untuk memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat, terutama masyarakat kecil tidak mustahil ada kemungkinan untuk membuat jaringan dengan bank pengkreditan rakyat yang juga menjalankan system syariah, berdasarkan UU No. 21/2008 pasal 1 ayat 9, disebut dengan bank pembiayaah rakyat secara syariah (BPRS).

B.     Rumusan Masalah
      Pembuatan makalah ini diharapkan dapat tersusun dengan baik dan terarah sehingga pembaca lebih mudah memahaminya. Oleh karena itu, di buatlah rumusan masalah. Adapun rumusan masalahnya adalah :
1.      Bagaimana bentuk dan ketentuan pendirian bank syariah di Indonesia?
2.      Bagaimana struktur pengurusan bank syariah di Indonesia?
3.      Bagaimana pengawasan Bank Indonesia disamping DSN dan DPS ?

C.     Tujuan Masalah
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menambah wawasan keilmuan kita serta memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Perbankan Syariah. Sedangkan secara khusus, tujuannya adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui bentuk dan ketentuan pendirian bank syariah di Indonesia.
2.      Untuk mengetahui struktur pengurusan bank syariah di Indonesia.
3.      Untuk mengetahui pengawasan Bank Indonesia disamping DSN dan DPS.

D.    Metode Penulisan
Metode penulisan yang penulis gunakan adalah metode pengutipan data dari satu refrensi. Sumber refrensi penulisan ini adalah buku acuan dosen mata kuliah Perbankan Syariah, yakni buku “Sistem Perbankan Syariah Di Indonesia”.
 



BAB II
PEMBAHASAN

A.    BENTUK DAN KETENUAN PENDIRIAN BANK SYARIAH DI INDONESIA

Pendirian perbankan syariah, baik dalam bentuk BUS, BPRS, maupun UUS sebagai mana pada bank konvensional, adalah berdasarkan kepada UU No. 10/1998, sebagai pengganti UU No. 7/1992 tentang perbankan, UU No. 21/2008 tentang perbankan syariah, SK.Dir. Bank Indonesia No. 32/34/1999, Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/24/PBI/2004 tentang pendirian bank umum syariah, yang di perbaharui dengan PBI No. 7/35/PBI/2005, PBI No. 6/17/PBI/2004 tentang pendirian BPRS, dan PBI No. 8/3/PBI/2006 tentang perubahan aktivitas Usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum yang Melaksanakan Aktivitas Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang Melaksanakan Aktivitas Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka ada beberapa ketentuan dan peraturan perbankan, seperti berikut :

a.       Ketentuan pendirian Bank Umum Syariah (BUS)
1)   Harus ada izin resmi dari BI. Harus menjalankan usahanya peling lambat 60 hari setelah izin dikeluarkan. Jika belum terlaksana, Direksi Bank Indonesia dapat membatalkan izin usaha tersebut.
2)   Yang dapat mendirikan BUS ialah : warganegara Indonesia dan atau badan hokum Indonesia, atau warganegara Indonesia dan atau badan hokum Indonesia dengan warganegara asing dan atau badan hukum asing secara kemitraan.
3)   Modal yang diinvestasikan adalah sebagaimana digariskan dalam ketentuan PBI, tidak dibenarkan bersumber dari : pinjaman atau kemudahan pembiayaan dalam apapun bentuk dari bank dan atau pihak lain, dan atau sumber yang diharamkan menurut prinsip syariah.
4)   Pemilik bank ialah pihak-pihak yang tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan atau pengelola bank sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BI. Dan menurut penilaian BI yang memiliki integritas yang baik.
5)   Di samping Dewan Komisaris dan Direksi, BUS juga harus memiliki Dewan Pengawas Syariah, yang berfungsi mengawasi agar sesuai dengan prinsip syariah. DPS hanya berkedudukan di Kantor Pusat, dan bersifat independen serta sejajar dengan Dewan Komisaris.
6)   Usaha BUS harus senantiasa memperhatikan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), dan norma-norma syariah. Jika belum difatwakan oleh DSN, maka bank wajib meminta persetujuan DSN sebelum melaksanakan aktivitas usaha tersebut.

b.      Ketentuan pendirian Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
1)   Sebagai mana pendirian BUS, pendirian BPRS juga harus dengan izin BI.
2)   Yang dapat mendirikan BPRS ialah : warganegara Indonesia, badan hokum Indonesia yang seluruh kepemilikannya dipegang oleh warganegara Indonesia, pemerintah daerah, dan dua pihak atau lebih sebagai mana dimaksud di atas.
3)   Modal yang diperlukan  untuk mendirikan BPRS ini sekurang-kurangnya : 2 milyar untuk di DKI Jakarta, Tangerang, Bogor, Bekasi dan Kerawang. Dan 1 milyar untuk wilayah Ibu Kota Propinsi. Serta 500 juta untuk daerah lainnya.
4)   Ketentuan lainnya sama dengan pendirian BUS, kecuali pembatasan usaha, seperti melakukan usaha dalam bentuk giro.

c.       Ketentuan pembukaan Unit Usaha Syariah pada Bank Konvensional
1)   Suatu bank umum yang aktivitas usahanya secara konvensional boleh melakukan aktivitas usaha berdasarkan prinsip syariah.
2)   Telah mendapat izin usaha UUS dan wajib mencantumkan dengan jelas frase “Unit Usaha Syariah” setelah nama bank pada kantor UUS yang bersangkutan.
3)   Wajib membentuk unit usaha syariah di kantor pusat bank yang berfungsi : mengatur dan mengawasi seluruh aktivitas kantor cabang syariah dan atau unit syariah, menempatkan dan mengelola dana yang bersumber dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah, menerima dan menata-usahakan laporan keuangan dari kantor cabang, serta melakukan aktivitas lain sebagai kantor induk.
4)   Pembukaan kantor cabang syariah harus mendapat izin dari BI.
5)   Wajib menyisihkan modal kerja bagi bank yang membuka kantor cabang syariah untuk menutupi biaya operasional dan memenuhi batas kewajiban penyediaan modal minimal.
6)   Wajib memiliki catatan dan pembukuan terpisah dan menyusun laporan keuangan berdasarkan prinsip syariah dan memasukkan laporan tersebut ke dalam laporan keuangan gabungan.
7)   Wajib menggunakan istilah “Kantor Cabang Syariah” pada setiap penulisan nama kantornya. Dan dilarang merubah aktivitas menjadi kantor cabang konvensional. Jika terjadi pelanggaran, maka BI akan menarik kembali izin pembukaan kantor cabang tersebut.
B.     STRUKTUR PENGURUSAN
a.       Direksi dan Dewan Komisaris
Adapun persyaratan wajib yang harus dipenuhi oleh direksi dan komisaris ialah :
1)      Tidak termasuk dalam pihak-pihak yang di sebut dalam pemegang saham / pengurus bank sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BI.
2)      Memiliki kompetensi dan integritas yang baik, yaitu ;
a.       Memiliki akhlak dan moral yang baik,
b.      Memenuhi peraturan perundangan yang berlaku,
c.       Memiliki komitmen yang tinggi dalam mengikuti fatwa Dewan Syariah Nasional,
d.      Mempunyai kemampuan dalam menjalankan tugas dan atau reputasi mengawasi aktivitas usaha bank agar sesuai dengan prinsip Syariah.
Bagi direksi, sekurang-kurangnya berjumlah 2 orang yang mempunyai pengalaman dalam operasional bank syariah. Dalam pasal 29 UU No.  21/2008 ditekankan bahwa 1 orang di antara direktur bertugas untuk memastikan kepatuhan Bank Syariah terhadap pelaksanaan ketentuan BI dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dan bagi direktur utamanya wajib berasal dari pihak yang bebas terhadap pemegang saham pengendali.
Adapun anggota dewan komisaris perlu sekurang-kurangnya berjumlah 2 orang dan sebanyak-banyaknya sama dengan jumlah anggota direksi, setidak-tidaknya seorang wajib tinggal di Indonesia.
b.      Dewan Syariah Nasional dan Dewan Pengawas Syariah
1)    Dewan Syariah Nasional (DSN)
       Didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara resmi pada tahun 1999 yang bertugas untuk mencaari, mengkaji dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum islam untuk dijadikan rujukan dalam aktivitas transaksi sertamengawasi perjalanan system perekonomian Lembaga Kauangan Syariah (LKS).
       Organisasi DSN per 2010 di ketuai oleh K.H. Ma’ruf Amin dengan empat pengurus lainnya dan 13 anggota yang memiliki tugas masing-masing.

       Berdasarkan keputusan DSN No. 01 tahun 2000 tentang Pedoman Dasar Dewan, DSN bertugas sebagai :
a.       Menumbuh dan mengembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam aktivitas perekonomian umumnya dan keuangan khususnya.
b.      Mengeluarkan fatwa tentang jenis-jenis aktivitas keuangan.
c.       Mengeluarkan fatwa tentang produk dan pelayanan keuangan Syariah.
d.      Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.

       Adapun wewenang DSN adalah sebagai berikut :
a.       Mengeluarkan fatwa yang mengikat DPS di setiap Lembaga Keuangan Syariah dan menjadi dasar tindakan hukum yang terjadi dengannya.
b.      Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan atau peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
c.       Memberikan rekomendasi atau menarik semua rekomendasi nama-nama yang akan menjabat di DPS pada suatu LKS.
d.      Mengundang para pakar untuk menerangkan segala masalah yang diperlakukan dalam pembahasan ekomomi syariah, termasuk otoritas moneter atau lembaga keuangan dalam dan luar negeri.
e.       Memberikan peringatan kepada LKS untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN.
f.       Mengusulkan pada pejabat yang berwewenang untuk mengambil tindakan.
       Dalam mengeluarkan fatwanya, DSN harus berdasarkan Al-Quran, Sunnah, kaedah-kaedah hukum Islam, dan pendapat Imam Madzhab serta ulama-ulama terdahulu.
2)    Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Dalam pasal 21 PBI No. 6/24/PBI/2004, disebutkan bahwa anggota DPS wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a.       Integritas, yaitu :
a)      Memiliki akhlak dan moral yang baik,
b)      Memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundangan yang berlaku,
c)      Memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional bank yang sehat,
d)     Tidak termasuk dalm catatan hitam pada perbankan Indonesia.
b.      Kompetensi, yaitu memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam bidang Syariah; muamalah, perbankan dan atau keuangan secara umum.
c.       Reputasi keuangan, yaitu pihak-pihak yang :
a)      Tidak termasuk dalam kredit atau pembiayaan yang tidak lancar.
b)      Tidak pernah dinyatakan bankrupt atau pernah menjadi direksi atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebkan suatu perusahaan dinyatakan bankrupt, dalam masa 5 tahun terakhir.
Tugas, wewenang dan tanggung jawab DPS, sebagai mana termuat dalam pasal 27 PBI No. 6/24/PBI/2004, antara lain ;
a.       Memastikan dan mengawasi kesesuaian aktivitas operasional bank terhadap fatwa yang dikeluarkan DSN.
b.      Menilai aspek Syariah sebagai rujukan operasional dan produk yang dikeluarkan bank.
c.       Memberikan pendapat dari aspek Syariah terhadap pelaksanaan operasional bank secara menyeluruh dalam bentuk laporan publikasi bank.
d.      Mengkasji produk dan pelayanan yang belum ada fatwanya untuk dimintakan kepada DSN.
e.       Menyampaikan laporan hasil pengawasan Syariah sekurang-kurangnya setiap 6 bulan sekali kepada direksi, komisaris, DSN dan bank Indonesia.
Fungsi utama DPS ialah :
a.       Sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pemimpin UUS, dan pemimpin kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang berhubungan dengan aspek syariah.
b.      Sebagai perantara antara LKS dengan DSN dalam membicarakan usul dan saran pengembangan produk dan pelayanan LKS yang memerlukan kajian serta fatwa DSN.
Tugas DPS ialah :
a.       Mengikuti fatwa-fatwa DSN
b.      Mengawasi Usaha LKS agar tidak menyimpang dari aturan syariah yang telah di fatwakan DSN.
c.       Melaporkan aktivitas usaha dan perkembangan LK yang diawasi secara rutin kepada DSN, sekurang-kurangnya 2 kali dalam setahun.

C.     PENGAWASAN BANK INDONESIA (di samping DSN dan DPS)
Menurut pasal 29 ayat 1 UU No. 10/1998 , Bank Indonesia turut bertugas sebagai pengawas selain DSN dan DPS. Adapun aspek-aspek pengawasan yang menjadi wewenang BI ialah :

a.       Aspek Administrasi
Berkaitan dengan perubahan aktivitas usaha dan pembukaan kantor cabang syariah serta pendirian bank yang berdasarkan prinsip syariah. Hal ini telah tertuang dalam peraturan yang ada bahwa setiap pendirian atau perubahan menjadi bank syariah harus dengan izin BI.
 
b.      Aspek Keuangan
BI memiliki wewenang untuk menetapkan pembiayaan maksimum yang ditentukan berdasarkan prinsip syariah yang harus dipatuhi oleh bank syariah, yakni tidak boleh melebihi 30% dari modal bank syariah tersebut.

Berdasarkan UU No. 10/1998 otoritas yang berwenang untuk menyatakan bahwa terlah terjadi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip syariah dan yang memberikan sanksi ialah BI saja. Hubungan kerja antara BI dan DSN merupakan suatu bentuk hubungan koordinasi.
BI sebagai pemegang otoritas pengawasan perbankan bias saja meminta fatwa kepada DSN apabila ada terjadi pelanggaran syariah compliance. Sebaliknya, DSN juga boleh melaporkan adanya pelanggaran syariah compliance. Dari hasil laporan DSN, BI harus melakukan tindakan sekiranya terbukti adanya kesalahan BI bias memberikan tindakan penertiban atau pemberi sanksi kepada bank yang melanggar peraturan sesuai dengan peraturan yang berlaku.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Untuk mendirikan BUS, BPRS, maupun UUS harus mendapatkan izin dari Bank Indonesia. Dimana setiap pendirian bank syariah juga harus menurut pada fatwa-fatwa yang berlaku. Selain itu peran BI juga sangat tegas terhadap aktivitas uasa perbankan syariah yang harus sesuai dengan prinsip syariah.

B.     Saran
Seharusnya pemerintah dalam mengembangkan perbankan syariah ialah dengan memberikan kesempatan untuk membuka jaringan layanan yang lebih luas dalam membentuk pembukaan Unit Usaha Syariah. Dan juga pemerintah harus tetap memperhatikan kinerja, kelayakan dan kemampuan keuangan bank.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda sangat membantu bagi perkembangan blog ini.